From the author
The article from Kompas remind us that many things happened when one area is developed. Unclear plan and synergy between many institutions sometimes forget about the environment. Traffic is worse in Cibubur, the article below is an alarm for all of us who live in Cibubur to make Cibubur in the future a better place for live and work and play.
========================
Minggu, 13 Desember 2009 | 12:07 WIB
Ilham Khoiri, Yulia Sapthiani, dan Lusiana Indriasari
KOMPAS.com - Jika ingin mengamati semrawutnya tata kota Jakarta dan sekitarnya, datanglah ke Cibubur. Kawasan yang mekar di wilayah pertemuan antara Jakarta Timur, Bekasi, Depok, dan Bogor itu kini dirundung berbagai soal: macet, sesak, kisruh, juga ancaman banjir. Bagaimana semua itu bermula?
Masyarakat Jakarta biasa mengunjungi Cibubur lewat Jalan Tol Jagorawi. Begitu keluar dari pintu tol (dengan tanda nama ”Cibubur, Cikeas, Cileungsi”), kita disergap berbagai bangunan yang seolah ditumplekkan begitu saja.
Di kiri Jalan Buperta berdiri patung tunas kelapa sebagai ikon Bumi Perkemahan Pramuka. Patung kusam itu tampak tenggelam disandingkan dengan label mentereng logo ”M” kuning McDonald’s dan logo merah-hitam Pizza Hut. Tak jauh dari situ berdiri stasiun pengisian bahan bakar Pertamina, Telaga Sea Food Restoran, dan toko 24 jam Circle K.
Kesemrawutan berlanjut di jalan alternatif Trans Yogie, jalan tembus Cibubur-Cileungsi-Jonggol-Cianjur hingga Bandung. Pada kiri jalan kita temukan Restoran Kabayan dan Hanamasa, Rumah Makan Khas Sunda Cibiuk, Gado-gado Boplo, dan Klinik Prodia. Di kanan jalan tampak bangunan Baby and Child Clinic 24 Hours dan Cibubur Point Automotif Center.
Memasuki wilayah Kota Depok lalu Bogor, kita bakal dikejutkan dengan belasan perumahan yang berjejer di kiri-kanan jalan. Sebagian nama menyematkan bermacam nama dalam bahasa asing. Sebut saja Mahogany Residence, Raffles Hills, Taman Laguna, Kranggan Permai, Nusa Dua Citra Gran, Legenda Wisata, Kota Wisata, Cibubur Residence, dan Citra Gran. Puluhan spanduk iklan perumahan riuh rendah melintang di atas jalan.
Tentu saja ada pusat perbelanjaan dan ruko di sana-sini. Ada Cibubur Point, Plaza Cibubur, Cibubur Times Square, dan Mal Ciputra Gran. Di seberang jalan tol ada mal Cibubur Junction yang nongkrong dengan gagah di tikungan dekat pertigaan Jalan Taman Bunga.
Daftar jejalan bangunan itu bisa diperpanjang. Kita bisa menyertakan rumah sakit, sekolah internasional, sarana olahraga seperti golf dan pusat kebugaran, atau rumah makan. Semuanya berkerumun di kawasan sekitar Tol Cibubur, kemudian melebar ke wilayah sekitar.
Macet
Apa yang dinikmati warga dari pemekaran kota yang menggerombol itu? ”Cibubur jadi ramai. Mencari apa-apa mudah,” kata Jajat Sudrajat (48), warga yang tinggal di Cibubur sejak tahun 1985.
Sayang keramaian itu harus dibayar dengan masalah lain. Pertumbuhan kota yang serampangan membuat Cibubur sesak. Situasi makin parah karena kepadatan itu tak diimbangi sarana transportasi. Akses utama ke Jakarta hanya lewat Jalan Tol Jagorawi atau tembusan Tol Jatiasih menuju Jalan Simatupang. Padahal, sebagian besar warga di sana bekerja di Jakarta. Populasinya juga terus membengkak seiring dengan pertambahan perumahan.
Menurut Pratomo Putro, pemilik media komunitas cibubur.com, kini ada 25-an kompleks perumahan dengan total penghuni 30.000-an keluarga. Dengan akses utama jalan tol, setiap keluarga didorong punya mobil pribadi. ”Jika setiap rumah punya satu mobil, jumlahnya bisa 30.000-an unit. Itu belum mencakup warga di perkampungan dan perusahaan,” katanya.
Akibatnya bisa diduga: kemacetan lalu lintas mendera setiap jam berangkat kerja pagi dan jam pulang sore hari. Titik macet menyebar di sekitar Jalan Buperta, Jalan Trans Yogie, Jalan Taman Bunga, bahkan hingga ke Jalan Raya Bogor.
Kemacetan menjadi-jadi pada akhir pekan. Setiap Sabtu dan Minggu jalanan disesaki kendaraan menuju tempat wisata dan mal. Bus-bus besar dari luar kota Jakarta juga sering memperparah situasi.
Gembong Arifin (35), pengurus peralatan studio personel God Bless Ian Antono, mengungkapkan, dia kerap terjebak macet pada Sabtu-Minggu. Ruas jalan dari rumahnya di Perumahan Villa Cibubur Indah ke pintu tol yang sepanjang 1,5-an kilometer harus ditempuh sampai satu jam. ”Itu siksaan luar biasa,” ujarnya.
Hingga kini para pengembang masih memburu lahan perumahan. Harga tanah melonjak. ”Cibubur masih dilirik pengembang dan konsumen. Muncul citra elite setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan jalan alternatif Cibubur menuju rumahnya di Cikeas,” kata Fuad Zakaria, Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia.
Geliat kota ini menggerogoti kawasan hijau. Lahan serapan air dan penghijauan, seperti kebun, sawah, setu, atau empang, digasak demi menancapkan beton- beton mal, ruko, atau perumahan. Citra Cibubur tempo dulu yang asri dan sejuk berangsur menjadi sesak dan mulai panas. ”Dulu kami tidur pakai selimut. Sekarang malah harus pakai AC,” kata Arief Bagus (30), warga Cibubur.
Masalah lain, muncul ancaman banjir. Syarif (37), warga yang tinggal sejak kecil di Jalan Lapangan Tembak, Kelurahan Cibubur, bercerita, ”Kalau musim hujan, jalan di sini banjir sampai tidak bisa dilalui kendaraan. Gorong-gorong yang ada di depan pasar terlalu kecil.”
Berbagai persoalan itu memaksa sebagian warga berpikir ulang untuk menetap di sana. Andong Begawan dan orangtuanya yang tinggal di Jalan Lapangan Tembak sejak tahun 1970-an, misalnya, menjual rumah dan pindah ke Sawangan, Depok. ”Kami tak tahan lagi dengan macet, debu, dan hiruk pikuk,” katanya.
Tanpa rencana
Apa akar dari semua masalah itu? ”Cibubur menggambarkan fenomena urban sprawl (pemekaran kota) tanpa rencana,” papar pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Jakarta, Yayat Supriatna.
Rencana Umum Tata Ruang Jakarta Tahun 1985-2005, menurut Yayat, memasukkan Cibubur dalam zona konservasi, pertanian, resapan air, dan sedikit hunian. Namun, ketika meletup booming ekonomi tahun 1990-an, muncul hasrat mengubah Cibubur menjadi kota baru. Itu selaras dengan pernah munculnya rencana pemindahan sebagian Ibu Kota ke Jonggol yang berbatasan dengan Cibubur.
Saat pembangunan menggeliat, tiba-tiba rencana umum tata ruang tahun 2000-2010 mengubah Cibubur menjadi permukiman dengan tingkat kepadatan rendah. Maksudnya, perumahan diizinkan, tetapi dalam sekala kecil dan berhalaman luas. Tujuannya agar tetap ada lahan terbuka hijau.
Sayang rencana itu kandas dilibas hasrat para pemilik modal membangun perumahan besar- besaran. Ini memicu munculnya berbagai kegiatan komersial lain. Pasar mengendalikan semuanya. Parahnya, tidak ada antisipasi transportasi massal ke Jakarta. ”Cibubur jadi acak-acakan. Mari kita nikmati bermacam masalahnya,” kata Yayat.
Adakah jalan keluar? ”Ada. Lakukan moratorium alias penghentian sementara, bikin dulu rencana tata kota yang jelas dan rinci, lalu semua perizinan pembangunan mengacu pada rencana itu. Jangan seenaknya pasar saja yang atur,” tandas Yayat.
Wednesday, December 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment