KOMPAS, 27 Maret 2009 03:50 WIB
Pembangunan infrastruktur jalan tol di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi makin mendesak direalisasikan mengingat kepadatan lalu lintas kian parah. Jumlah kendaraan terus bertambah bak deret ukur, sementara pertambahan jalan seperti deret hitung. ROBERT ADHI KSP
Bayangkan kondisi lalu lintas di kawasan Jabodetabek lima sampai sepuluh tahun mendatang. Betapa sesaknya lalu lintas Jabodetabek dengan kendaraan pribadi. Dari 5,7 juta kendaraan di Jakarta, sebanyak 98 persen merupakan kendaraan pribadi!
Catatan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menunjukkan, dalam lima tahun terakhir ini, setiap hari di Jakarta bertambah 1.127 kendaraan baru (236 mobil dan 891 motor). Sedangkan di Depok, Tangerang, Bekasi (tidak termasuk Bogor), jumlah kendaraan baru mencapai 2.207 per hari (320 mobil dan 1.707 motor). Panjang jalan di DKI Jakarta ”hanya” 7.760 km dengan luas jalan 40,1 km.
Kalau pemerintah tidak melakukan upaya serius memecahkan persoalan ini, kondisi jalan di Jakarta bakal stagnan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang menimbang-nimbang untuk menerapkan konsep electronic road pricing (ERP) seperti yang sudah dilakukan banyak negara di dunia. Tujuan ERP untuk membatasi jumlah kendaraan masuk ke jalan tertentu pada jam-jam sibuk.
Uang yang diperoleh dari ERP, kata Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Bambang Susantono, diharapkan digunakan untuk memperbaiki infrastruktur transportasi umum.
Pemerintah juga merencanakan membangun mass rapid transit (MRT) Lebak Bulus-Dukuh Atas-Harmoni sebagai salah satu solusi mengatasi kemacetan lalu lintas. MRT ini dibiayai pinjaman Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo berjanji MRT segera dibangun tahun 2009-2010.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sudah mengoperasikan bus rapid transit yang menjangkau hampir seluruh wilayah Jakarta.
PT Kereta Api sejak tahun 2008 mengoperasikan KRL Jabotabek hingga menjelang tengah malam. Langkah ini cukup membantu transportasi para pekerja komuter.
Namun, itu semua tidak cukup untuk mengatasi kemacetan lalu lintas yang kian parah. Salah satu solusi adalah membangun jaringan jalan lingkar baru di kawasan Bodetabek.
Masyarakat Bodetabek sejak lama mengeluh soal kemacetan yang semakin parah. Warga Kota Depok yang setiap hari melintasi Jalan Raya Bogor, Jalan Margonda, Jalan Sawangan, dan Jalan Cinere Raya, misalnya, mengeluh karena jalan utama di kota itu selalu macet. Jalan-jalan itu sempit dan tak mampu menampung kendaraan.
Keadaan serupa dialami warga Bodetabek lainnya, yang sudah gerah dengan kemacetan seakan tanpa solusi. Warga Bodetabek harus bangun dan berangkat lebih awal jika tidak ingin terjebak macet di Jakarta.
JORR II
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Departemen Pekerjaan Umum dua tahun lalu merilis rencana pembangunan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta atau Jakarta Outer Ring Road (JORR) II di kawasan Bodetabek.
JORR II mengitari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, lalu menembus kawasan Kunciran dan memotong Jalan Tol Tangerang-Kebon Jeruk, terus ke arah Serpong di Tangerang Selatan, menyambung ke Cinere hingga memotong Jalan Tol Jagorawi. Dari Cimanggis, JORR II menyambung ke arah Cibitung, dan terus ke Tanjung Priok. Di sini JORR II menyambung dengan jalan tol dalam kota yang ke arah bandara (lihat peta).
JORR II diharapkan menjadi salah satu solusi kemacetan lalu lintas. Kendaraan berat yang akan ke Pelabuhan Tanjung Priok sebetulnya tak perlu masuk ke dalam kota dan memadati jalan di Jakarta jika JORR II terealisasi. Intinya, pembangunan jalan tol lingkar luar II ini akan membantu mengurangi kepadatan lalu lintas Jakarta dan Bodetabek.
Untuk daerah-daerah yang sudah berkembang secara komersial, pemerintah menggandeng investor swasta untuk membangun jalan tol baru.
Gairah investor menggarap JORR II ini cukup besar. Dari enam ruas tol JORR II, empat di antaranya memiliki perjanjian kontrak.
Namun, Kepala BPJT Nurdin Manurung mengakui, hingga kini investor jalan tol menghadapi problem yang sama, yaitu masalah pembebasan tanah.
Reformasi peraturan belum dapat diimplementasikan di lapangan. Tak ada kepastian soal harga dan waktu pengadaan tanah yang menjadi pokok persoalan selama ini. Akibatnya, tingkat kelayakan investasi jalan tol menurun dan waktu konsesi berkurang.
Problem utama
Problem pembebasan tanah ini menghadang investor swasta membangun JORR II ini. Pemilik tanah menilai Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dapat menghilangkan hak atas tanah tiba-tiba dan khawatir perpres ini mengubah ”kepentingan umum” menjadi ”kepentingan pemilik modal”.
Wakil Direktur PT Translingkar Kitajaya (TLKJ) Hilman Muchsin mengusulkan dua cara untuk menyelesaikan problem ini. Pertama, mengubah skema investasi pembangunan jalan tol yang sudah ada.
Dalam skema investasi saat ini terdapat unsur pembebasan tanah. Ini ternyata menjadi kendala utama. Dari 22 investor tol yang sudah menandatangani perjanjian sejak dua tahun lalu, belum ada kemajuan berarti.
Kedua, mekanisme pembebasan tanah perlu disempurnakan. Pemerintah seharusnya sudah menentukan lokasi untuk kepentingan umum dan mencabut hak atas tanah untuk satu koridor jalan, bukan satu per satu seperti sekarang. Tanah harus dinilai secara independen.
Pelaksanaan pembebasan tanah dilakukan secara transparan dengan mengumumkan lebih dahulu tanah yang ditetapkan. Pemerintah kemudian membekukannya sehingga terhindar dari ulah spekulan tanah.
Kepala BPJT Nurdin Manurung sepakat jika pada masa depan pembebasan tanah dilakukan lebih dahulu oleh pemerintah. Setelah itu proyek tol ditawarkan ke investor untuk dibangun dan dioperasikan, seperti yang diterapkan di China dan Malaysia.
Dari enam ruas tol JORR II, baru proyek tol Cinere-Jagorawi yang sudah menunjukkan kemajuan berarti. Nurdin memuji komitmen investor untuk menyelesaikan pembangunan jalan tol sepanjang 14,7 km itu.
Namun, bagaimana dengan ruas tol lainnya?
Perlu solusi
Komitmen saja tentu tidak cukup. Pemerintah harus segera mencari jalan keluar agar investor makin bergairah menyelesaikan JORR II yang sudah direncanakan.
Kalau pemerintah membiarkan investor tol dihadang masalah pembebasan tanah, ini berarti membiarkan JORR II tak kunjung terealisasi. JORR II sudah tertunda selama dua tahun. Seharusnya pada tahun 2009 atau 2010 sebagian ruas tol JORR II mulai beroperasi.
Penundaan berlarut-larut hanya akan memperpanjang ”penderitaan” warga Jabodetabek yang sudah capek mengalami kemacetan lalu lintas sepanjang hari.
Thursday, November 5, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment